Disebutkan dalam Al-Mughni:
“Barang siapa yang meninggalkan sholat sedangkan dia orang yang baligh,
berakal, baik meninggalkan disebabkan karena mengingkari atau tidak,
maka ia diajak untuk mengerjakan sholat disetiap waktu sholat selama
tiga hari, jika mengindahkan anjuran untuk sholat maka dibiarkan dan
jika tidak maka ia dibunuh.
Seperti ini juga pendapat dari Imam
Malik, Hammad bin Zaid, Waqi’ dan Syafii. Azzuhri berkata orang yang
tidak mengerjakan shalat maka ia dipukul dan dipenjara, hal ini juga
senada dengan pendapat Abu Hanifah. Ia berkata orang yang meninggalkan
shalat tidak dibunuh, hal ini dikarenakan Nabi shalallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak halal darah seorang muslim
kecuali dengan tiga hal: kafir setelah iman (murtad), zina setelah
mukhshon, atau membubuh jiwa dengan jalan yang tidak benar.”(Dikeluarkan oleh Tirmidzi, Nasa’I, Hakimdan Albani menyebutkkan dalam sohih jami’nya)
Sedangkan menurut madzhab Hanabilah,
berdasarkan firman Allah Qs: Attaubah 55, yaitu bolehnya membunuh orang
musyrik dan syarat dari jalan taubat mereka sebagaimana disebutkan dalam
ayat diatas adalah islam, mendirikan sholat, dan menunaikan zakat, maka
ketika meninggalkan sholat dengan sengaja boleh untuk dibunuh, hadits
Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam “Barang siapa yang meninggalkan sholat dengan sengaja maka sungguh telah terlepas darinya tanggungan.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Majah, Ahmad, dan Albani mengatakan hasan) Dan juga sabda beliau “Antara hamba dengan kekafiran adalah meninggalkan sholat.” (Dikeluarkan oleh Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)
Perbedaan riwayat yang menjadikan
perbedaan pendapat adalah dalam hal Apakah orang yang meninggalkan
sholat dibunuh karena kekafirannya atau karena sebagai had bagi mereka?
dalam hal ini ada dua riwayat.
Riwayat pertama: orang
yang meninggalkan sholat dibunuh karena kekafirannya sebagaimana orang
murtad, yaitu tidak di mandikan, tidak dikafani, tidak dikuburkan
diantara kuburan orang-orang muslim tidak mewarisi dan tidak diwarisi.
Pendapat seperti ini yang dipilih oleh Abu Ishaq bin Syaaqilan, Ibnu
Hamid dan dari madzhab Hasan, Sya’bi, Ayub Asukhtayaani, Al Auzai, Ibnu
Mubarak, Hammad bin Zaid, Ishaq dan Muhammad bin Sirin, berdasarkan
hadits Rasulullah “Antara hamba dengan kekafiran adalah adalah meninggalkan sholat.”
Riwayat kedua: dibunuh
sebagai had bukan karena ia kafir (murtad) dengan ditetapkannya hukum
islam baginya sebagaimana pezina mukhshon. Pendapat seperti ini yang
dipilih oleh Abdullah bin Batthoh dan ia mengingkari perkataan orang
yang mengatakan kafir. Menurut madzhab tidak terdapat hilaf dalam
madzhab mengenai hal ini (ia tidak kafir), dan pendapat ini adalah
pendapat kebanyakan dari para fuqoha’, termasuk pendapat Abu Hanifah,
Malik, dan Syafii. Dalil atas pendapat ini adalah sabda Nabi “Tidaklah dari seorang hamba mengatakan laa ilaahaillallah kemudian mati diatas yang demikian kecuali ia akan masuk jannah.”(Muttafakun Alaih) Dan “sabda beliau shalatilah terhadasp orang yang mengatakan laa ilaahaillallah.”
Tidak diketahui pada zaman-zaman yang ada bahwa orang yang meninggalkan
sholat meninggalkan juga dari mengkafani, menshalati dan
mengkuburkannya di pekuburan orang-orang muslim serta larangan
mewarisinya.
Adapu hadits-hadits yang terdahulu (yang
menyatakan kafir) merupakan bentuk dari kerasnya larangan meninggalkan
sholat. Dan penyerupaan terhadap orang kafir tidaklah secara hakiki.
Sebagaimana sabda Rasulullah “Mencela orang muslim adalah fasiq dan membubuhnya adalah kafir”, dan sabda beliau juga “Barang
siapa yang menggauli wanita haid atau menggauli lewat duburnya maka ia
telah kafir dengan apa yang dibawa oleh muhammad.” Juga hadits Rasulullah “Orang yang minum khomer sebagaimana penyembah berhala.” Dan masih banyak lagi dalil-dalil yang serupa dengan hal ini.
Bagi barang siapa yang meninggalkan
syarat sholat yang telah disepakati atasnya atau meninggalkan rukun
sebagaimana wudhu, ruku’, dan sujud maka ia sebagaimana orang yang
meninggalkan sholat serta dihukumi dengannya.
0 comments:
Post a Comment