Friday, September 28, 2012

Larangan Minum Khamr

Leave a Comment
Dari Ibnu Umar ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang minum khamr, tidak diterima shalatnya 40 hari. Siapa yang bertaubat, maka Allah memberinya taubat untuknya. Namun bila kembali lagi, maka hak Allah untuk memberinya minum dari sungai Khabal.” Seseorang bertanya, “Apakah sungai Khabal itu”? Beliau menjawab, “Nanahnya penduduk neraka.”

  ‏

Dari Abdullah bin Amr berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang minum khamr lalu mabuk, tidak diterima shalatnya 40 hari. Bila dia mati masuk neraka. Bila dia taubat, maka Allah akan mengampuninya. Namun bila kembali minum khamr dan mabuk, tidak diterima shalatnya 40 hari. Bila mati masuk neraka. Bila dia kembali minum, maka hak Allah untuk memberinya minum dari Radghatul Khabal di hari kiamat.” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apakah Radaghatul Khabal itu?” Beliau menjawab, “Perasan penduduk neraka.”


Dari Ibnu Umar ra berkata, “Siapa yang meminum khamr meski tidak sampai mabuk, tidak diterima shalatnya selagi masih ada tersisa di mulutnya atau tenggorokannya. Apabila dia mati maka dia mati dalam keadaan kafir. Bila sampai mabuk, maka tidak diterima shalatnya 40 malam. Dan bila dia mati maka matinya kafir.”

Para ulama mengatakan, bahwa orang yang minum khamr itu kafir, maksudnya bukan dia murtad dari Islam, melainkan maksudnya adalah bahwa dia seperti orang kafir yang apabila melakukan shalat, maka shalatnya tidak diterima, selama dia menunaikan sesuai dengan rukun dan aturannya. Namun bukan berarti kewajibannya untuk shalat menjadi gugur. Tidak, shalat tetap wajib atasnya, namun selama 40 hari tidak akan diterima shalat itu di sisi Allah.
Sungguh sangat rugi orang yang minum khamr. Sudah tetap wajib, tapi tidak diterima.


HUKUMAN DI DUNIA

Dalam hukum Islam, seseorang yang meminum khamr selain berurusan dengan Allah, juga berurusan dengan hukum positif yang Allah turunkan. Hukumannya adalah dipukul/cambuk. Para ulama mengatakan bahwa untuk memukul peminum khamr, bisa digunakan beberapa alat antara lain: tangan kosong, sandal, ujung pakaian atau cambuk.
Bentuk hukuman ini bersifat mahdhah, artinya bentuknya sudah menjadi ketentuan dari Allah SWT. Sehingga tidak boleh diganti dengan bentuk hukuman lainnya seperti penjara atau denda uang dan sebagainya. Dalam istilah fiqih disebut hukum hudud, yaitu hukum yang bentuk, syarat, pembuktian dan tatacaranya sudah diatur oleh Allah SWT.

Rasulullah SAW bersabda:

                           “Siapa yang minum khamr maka pukullah.”

Hadits ini termasuk jajaran hadits mutawatir, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi pada tiap thabawatnya dan mustahil ada terjadi kebohongan di antara mereka.

Di tingkat sahabat, hadits ini diriwayatkan oleh 12 orang sahabat yang berbeda. Mereka adalah Abu Hurairah, Muawiyah, Ibnu Umar, Qubaishah bin Zuaib, Jabir, As-Syarid bin suwaid, Abu Said Al-Khudhri, Abdullah bin Amru, Jarir bin Abdillah, Ibnu Mas`ud, Syarhabil bin Aus dan Ghatif ibn Harits.


-- Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama Dalam Menentukan Jumlah Pukulan

Jumhur Ulama sepakat bahwa peminum khamr yang memenuhi syarat untuk dihukum, maka bentuk hukumannya adalah dicambuk sebanyak 80 kali. Pendapat mereka didasarkan kepada perkataan Sayyidina Ali ra:

“Bila seseorang minum khamr maka akan mabuk. Bila mabuk maka meracau. Bila meracau maka tidak ingat. Dan hukumannya adalah 80 kali cambuk.”

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Sayyidina Ali ra berkata:
“Rasulullah SAW mencambuk peminum khamr sebanyak 40 kali. Abu Bakar juga 40 kali. Sedangkan Utsman 80 kali. Kesemuanya adalah sunnah. Tapi yang ini lebih aku sukai.”

Sedangkan Imam Asy-Syafi`i  (ra)  berpendapat bahwa hukumannya adalah cambuk sebanyak 40 kali. Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW: 
“Dari Anas ra. berkata bahwa Rasulullah SAW mencambuk kasus minum khamr dengan pelepah dan sandal sebanyak 40 kali.”
Read More...

Hukuman meninggalkan shalat

Leave a Comment
Disebutkan dalam Al-Mughni: “Barang siapa yang meninggalkan sholat sedangkan dia orang yang baligh, berakal, baik meninggalkan disebabkan karena mengingkari atau tidak, maka ia diajak untuk mengerjakan sholat disetiap waktu sholat selama tiga hari, jika mengindahkan anjuran untuk sholat maka dibiarkan dan jika tidak maka ia dibunuh.


Seperti ini juga pendapat dari Imam Malik, Hammad bin Zaid, Waqi’ dan Syafii. Azzuhri berkata orang yang tidak mengerjakan shalat maka ia dipukul dan dipenjara, hal ini juga senada dengan pendapat Abu Hanifah. Ia berkata orang yang meninggalkan shalat tidak dibunuh, hal ini dikarenakan Nabi shalallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak halal darah seorang muslim kecuali dengan tiga hal: kafir setelah iman (murtad), zina setelah mukhshon, atau membubuh jiwa dengan jalan yang tidak benar.”(Dikeluarkan oleh Tirmidzi, Nasa’I, Hakimdan Albani menyebutkkan dalam sohih jami’nya)
Sedangkan menurut madzhab Hanabilah, berdasarkan firman Allah Qs: Attaubah 55, yaitu bolehnya membunuh orang musyrik dan syarat dari jalan taubat mereka sebagaimana disebutkan dalam ayat diatas adalah islam, mendirikan sholat, dan menunaikan zakat, maka ketika meninggalkan sholat dengan sengaja boleh untuk dibunuh, hadits Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam “Barang siapa yang meninggalkan sholat dengan sengaja maka sungguh telah terlepas darinya tanggungan.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Majah, Ahmad, dan Albani mengatakan hasan) Dan juga sabda beliau  “Antara hamba dengan kekafiran adalah meninggalkan sholat.” (Dikeluarkan oleh Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)
Perbedaan riwayat yang menjadikan perbedaan pendapat adalah dalam hal Apakah orang yang meninggalkan sholat dibunuh karena kekafirannya atau karena sebagai had bagi mereka? dalam hal ini ada dua riwayat.
Riwayat pertama: orang yang meninggalkan sholat dibunuh karena kekafirannya sebagaimana orang murtad, yaitu tidak di mandikan, tidak dikafani, tidak dikuburkan diantara kuburan orang-orang muslim tidak mewarisi dan tidak diwarisi. Pendapat seperti ini yang dipilih oleh Abu Ishaq bin Syaaqilan, Ibnu Hamid dan dari madzhab Hasan, Sya’bi, Ayub Asukhtayaani, Al Auzai, Ibnu Mubarak, Hammad bin Zaid, Ishaq dan Muhammad bin Sirin, berdasarkan hadits Rasulullah “Antara hamba dengan kekafiran adalah adalah meninggalkan sholat.”
Riwayat kedua: dibunuh sebagai had bukan karena ia kafir (murtad) dengan ditetapkannya hukum islam baginya sebagaimana pezina mukhshon. Pendapat seperti ini yang dipilih oleh Abdullah bin Batthoh dan ia mengingkari perkataan orang yang mengatakan kafir. Menurut madzhab tidak terdapat hilaf dalam madzhab mengenai hal ini (ia tidak kafir), dan pendapat ini adalah pendapat kebanyakan dari para fuqoha’, termasuk pendapat Abu Hanifah, Malik, dan Syafii. Dalil atas pendapat ini adalah sabda Nabi “Tidaklah dari seorang hamba mengatakan laa ilaahaillallah kemudian mati diatas yang demikian kecuali ia akan masuk jannah.”(Muttafakun Alaih) Dan “sabda beliau shalatilah terhadasp orang yang mengatakan laa ilaahaillallah.” Tidak diketahui pada zaman-zaman yang ada bahwa orang yang meninggalkan sholat meninggalkan juga dari mengkafani, menshalati dan mengkuburkannya di pekuburan orang-orang muslim serta larangan mewarisinya.
Adapu hadits-hadits yang terdahulu (yang menyatakan kafir) merupakan bentuk dari kerasnya larangan meninggalkan sholat. Dan penyerupaan terhadap orang kafir tidaklah secara hakiki. Sebagaimana sabda Rasulullah “Mencela orang muslim adalah fasiq dan membubuhnya adalah kafir”, dan sabda beliau juga “Barang siapa yang menggauli wanita haid atau menggauli lewat duburnya maka ia telah kafir dengan apa yang dibawa oleh muhammad.” Juga hadits Rasulullah “Orang yang minum khomer sebagaimana penyembah berhala.” Dan masih banyak lagi dalil-dalil yang serupa dengan hal ini.
Bagi barang siapa yang meninggalkan syarat sholat yang telah disepakati atasnya atau meninggalkan rukun sebagaimana wudhu, ruku’, dan sujud maka ia sebagaimana orang yang meninggalkan sholat serta dihukumi dengannya.
Read More...

Ghasab

Leave a Comment
Definisi Ghasab
  1. Mazhab Hanafi –> mengambil harta orang lain yang halal tanpa ijin, sehingga barang tersebut berpindah tangan dari pemiliknya
  2. Ulama Mazhab Maliki –> mengambil harta orang lain secara paksa dan sengaja (bukan dalam arti merampok)
  3. Ulama Mazhab Syafi’i dan Hanbali –> penguasaan terhadap harta orang lain secara sewenang-wenang atau secara paksa tanpa hak.
Dari definisi tersebut diatas yang dikemukakan oleh para ulama jelas terlihat bahwa
  1. Bagi Mazhab Hanafi (selain Muhammad bin Hasan asy Syaibani dan Zufar bin Hudail), ghasab harus bersifat pemindahan hak seseorang menjadi milik orang yang menggasab.
  2. Imam Hanafi dan sahabatnya Imam Abu Yusuf, tidak dinamakan ghasab apabila sifatnya tidak pemindahan hak milik.
  3. Jumhur Ulama –> menguasai milik orang lain saja sudah termasuk ghasab, apalagi bersifat pemindahan hak milik.
Akibat dari perbedaan definisi ini akan terlihat pada tiga hal :
  1. Jenis benda (bergerak dan tidak bergerak)
    1. Imam Hanafi dan Abu Yusuf –> ghasab terjadi hanya pada benda-benda yang bergerak, sedangkan benda yang tidak bergerak tidak tidak mungkin terjadi ghasab. Seperti rumah dan tanah
    2. Jumhur Ulama –> ghasab bisa terjadi pada benda bergerak dan tidak bergerak.  Karena yang penting adlah sifat penguasaan terhadap harta tersebut secara sewenang-wenang dan secara paksa. Melalui penguasaan ini berarti orang yang menggasab tersebut telah menjadikan harta itu sebagai miliknya baik secara material maupun secara manfaat.
  2. Hasil dari benda yang diambil tanpa ijin.
    1. Imam Hanafi dan Abu Yusuf –> hasil dari benda yang diambil merupakan amanah yang harus dikembalikan kepada pemiliknya. Akan tetapi jika hasil dari benda itu dibinasakan (melakukan kesewenangan terhadap hasil dari benda yang digasab) maka ia dikenakan denda. Seperti : buah dari pohon yang dighasab.
    2. Jumhur Ulama –> Jika penggasab menghabiskan atau mengurangi hasil barang yang dighasabnya maka ia dikenakan denda
  3. Manfaat dari benda yang dighasab.
    1. Mazhab Hanafi –> manfaat barang yang dighasab tidak termasuk sesuatu yang digasab. Karena manfaat tidak termasuk dalam definisi harta bagi mereka. Seperti : menggasab sandal kemudian dikembalikan lagi
    2. Jumhur Ulama –> Manfaat itu termasuk dalam definisi harta. Oleh sebab itu dikenakan denda jika barang yang digasab tersebut dimanfaatkan orang yang menggasabnya.
Dari definisi yang dikemukakan para ulama diatas terlihat jelas bahwa ghasab tidak sama dengan mencuri, karena mencuri dilakukan secara sembunyi sedangkan ghasab dilakukan secara terang-terangan dan sewenang-wenang. Bahkan ghasab sering diartikan  sebagai menggunakan/memanfaatkan harta orang lain tanpa seijin pemiliknya, dengan tidak bermaksud memilikinya. Contoh : si A mengambil sajadah si B dengan tidak bermaksud memilikinya tetapi memanfaatkannya untuk shalat. Setelah itu dikembalikan lagi ke tempat semula.
Sekalipun tujuannya adalah baik, tetapi karena memanfaatkan barang orang lain tanpa ijin itu adalah perbuatan tercela dalam islam.
Dasar Hukum Ghasab
  1. Surat An Nisa ayat 29
يَأيهَا الذِينَ آمَنُوا لاَ تَأكُلُوا أمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالبَاطِلِ إلاَّ  أنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَراضٍ مِنْكُم وَلاَ تَقْتُلوُا أنْفُسَكُم إنّ الله كَانَ بِكُم رَحِيمًا
Hai orang-orang yang beriman, janglah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu, Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
  1. Surat Al Baqarah 188
وَ لاَ تَأكُلوُا أمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَ تُدْلُوابِهَا إلىَ اْلحُكّامِ  لِتَأكُلوُا فَرِيقًا مِنْ أمْوَالِ النَّاسِ بِا لإثمِ وَ أنْتُم تَعْلَمُونَ
Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.
  1. Sabda Rasulullah
“Darah dan harta seseorang haram bagi orang lain (HR Bukhari dan Muslim dari Abi Bakrah)
“Harta seorang muslim haram dipergunakan oleh muslim lainnya, tanpa kerelaan hati pemiliknya (HR.Daruquthni dari Anas bin Malik.
Hukuman orang yang Ghasab
  1. Ia berdoasa jika ia mengtehui bahwa barang yang diambilnya tersebut milik orang lain.
  2. Jika barang tersebut masih utuh wajib dikembalikannya
  3. Apabila barang tersebut hilang/rusak karena dimanfaatkan maka ia dikenakan denda.
  1. Mazhab Hanafi dan Maliki
Denda dilakukan dengan barang yang sesuai/sama dengan barang yang dighasab.Apabila jenis barang yang sama tidak ada maka dikenakan denda seharga benda tersebut ketika dilakukan ghasab.
  1. Mazhab Syafi’i –>denda sesuai dengan harga yang tertinggi
  2. Mazhab Hanbali –> denda sesuai dengan harga ketika jenis benda itu tidak ada lagi di pasaran.
Terjadi perbedaan pendapat tentang apakah benda yangtelah dibayarkan dendanya itu menjadi milik orang yang menggasabnya
  1. Mazhab Hanafi –> orang yang menggasab berhak atas benda itu sejak ia melakukannya sampai ia membayar denda.
  1. Mazhab Syafii dan Hanbali –> orang yang menggasab tidak berhak atas benda yang yang digasabnya walaupun sudah membayar denda.
  1. Mazhab Maliki –> orang yang mengasab tidak boleh memanfaatkan benda tersebut jika masih utuh, tetapi jika telah rusak, maka setelah denda dibayar  benda itu menjadi miliknya dan ia bebas untuk memanfaatkannya.
Apabila yang dighasabnya berbentuk sebidang tanah, kemudian dibangun rumah diatasnya, atau tanah itu dijadikan lahan pertanian, maka jumhur ulama sepakat mengatakan bahwa tanah itu harus dikembalikan. Rumah dan tanaman yang ada diatasnya dimusnahkan atau dikembalikan kepada orang yang dighasab. Hal ini berdasarkan kepada sabda Rasulullah
“ Jerih payah yang dilakukan dengan cara aniaya (lalim) tidak berhak diterima oleh orang yang melakukan (perbuatan aniaya) tersebut” (HR Daruqutni dan Abu Daud dari Urwah bin Zubair)
Read More...

Hukuman Mencuri

Leave a Comment
   Dalil Al Qur’an :
1.       Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.  (QS. Al Maidah: 38)
2.       Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka[1472] dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Mumthahanah: 12)
[1472]. Perbuatan yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka itu maksudnya ialah mengadakan pengakuan-pengakuan palsu mengenai hubungan antara pria dan wanita seperti tuduhan berzina, tuduhan bahwa anak si Fulan bukan anak suaminya dan sebagainya.
                       

3.       Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik[414], atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar, (QS. Al Maidah: 33)
[414]. Maksudnya ialah: memotong tangan kanan dan kaki kiri; dan kalau melakukan lagi maka dipotong tangan kiri dan kaki kanan.
4.       tentang dunia dan akhirat. Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah: "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al Baqarah: 220)
Dalil Al Hadits :
             Sahabat Abi Hurairah ra berkata. bahwa Rasulullah saw telah bersabda "Tidak akan berzina seorang pezina bila ketika berzina dia beriman, tidak akan mencuri seorang pencuri bila ketika mencuri dia beriman dan tidak akan minum-mimunan keras seorang pemabuk bila kelika minum dia beriman " (HR Bukhari dan Muslim) Dalam riwayat Imam Nasai ada tambahan teks hadis "Apabila dia melakukan yang demikian berarti dia telah melepas ikatan-ikatan Islam dan dirinya" Dan Rasulullah saw juga telah bersabda "Allah melaknati pencuri yang mencuri sebutir telur, dan dia harus dipotong tangannya Dan Allah melaknati seorang pencuri yang mencuri kuda, dan dia pun harus dipotong tangannya pula " (HR Bukhari, Muslim, dan Nasai dan Abi Hurairah)
Read More...

Larangan Berzina

Leave a Comment
Banyak sekali dalil-dalil baik dari Al Quran maupun hadist yang melarang perbuatan zina ini. Bahkan sebagiannya disertai celaan yang hina bagi pelakunya dan hukuman yang ngeri baik di dunia maupun di akhirat.
Dalil Dari Al Quran:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.” (an-Nuur: 2-3)
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (al-Israa’: 32)
وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آَخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا
Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina.” (al-Furqaan: 68-69)
Dalil dari Hadits
Kalau kita telusuri hadits-hadits Nabi yang berkaitan dengan zina, bukan saja akan kita dapati larangan, celaan, ancamannya di akhirat. Namun, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam juga memperingatkan dan melarang hal-hal yang dapat menghantarkan kepada zina. Bentuknya antara lain larangan memandang wanita lain, larangan berikhtilath dan berduaan dengannya, dan secara tegas memperingatkan bahaya fitnah wanita bagi laki-laki.
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya, dari Jarir bin Abdillah al Bajali radliyallah 'anhu, berkata, "aku bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tentang pandangan yang tiba-tiba, maka beliau memerintahkanku untuk memalingkan pandanganku." Dalam riwayat lain beliau bersabda, "tundukkan (lihatlah ke tanah) pandanganmu."
Dalam Sunan Abi Dawud, Dari Abdillah bin Buraidah, dari ayahnya berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada Ali Bin Abi Thalib radliyallah 'anhu:
يا علي، لا تتبع النظرة النظرةَ، فإن لك الأولى وليس لك الآخرة
"Hai Ali, Janganlah engkau ikuti satu pandangan dengan pandangan lainnya. sesungguhnya bagimu hanya boleh dalam pandangan yang pertama dan tidak yang selanjutnya."
Dan dalan Shahihain, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang nongkrong di pinggir jalan. Lalu para sahabat menyampaikan keberatan karena mereka tidak memiliki tempat lain untuk berbincang-bincang. Kemudian beliau shallallahu 'alaihi wasallam membolehkannya asal mereka memberikan haqqut thariq (hak jalan), yaitu menundukkan pandangan, tidak mengganggu orang yang lewat, menjawab salam, memerintahkan yang ma'ruf, dan mencegah kemungkaran.
Beliau bersabda, Dari Ibnu Umar bin Al-Khaththab rahimahullah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah seorang pria yang berduaan dengan seorang wanita, kecuali yang ketiganya adalah syetan.” (HR At-Tirmidzi)
Dari Usamah bin Zaid rahimahullah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah aku tinggalkan fitnah di tengah-tengah manusia sepeninggalku  yang lebih berbahaya daripada fitnah wanita.” (HR Bukhari dan Muslim)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah rahimahullah berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Tiga jenis orang yang Allah tidak mengajak berbicara pada hari kiamat, tidak mensucikan mereka, tidak melihat kepada mereka, dan bagi mereka adzab yang pedih: Orang yang berzina, penguasa yang pendusta, dan orang miskin yang sombong,” (HR Muslim).
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Seorang pezina yang akan berzina tak akan jadi berzina ketika dalam keadaan beriman. Seorang pencuri yang akan mencuri tak akan jadi mencuri ketika dalam keadaan beriman. Seorang peminum khamar yang akan meminum khamar tak akan jadi meminumnya ketika dia dalam keadaan beriman.” (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama berbeda pendapat mengenai hadits di atas. Namun makna yang benar adalah perbuatan maksiat di atas tidak akan dilakukan, jika orang itu memiliki keimanan yang sempurna. Pengertian ini diambil dari lafadz-lafadz yang diungkapkan untuk penafian sesuatu dan yang dimaksudkan adalah penafian sebagaimana adanya."
Dalam Shahih Bukhari, setelah beliau meriwayatkan hadis ini, Ikrimah berkata, “Saya bertanya kepada Ibnu Abbas, ‘Bagaimana tercabutnya keimanan dari orang itu?”
Ibnu Abbas menjawab, “Seperti ini.” Ibnu Abbas menjalin jari-jarinya dan melepaskankan jalinan jari-jarinya. Ibnu Abbas kembali menjelaskan, “Jika dia bertaubat, maka jari-jari ini akan kembali terjalin." Demikianlah, Ibnu Abbas kembali memperlihatkan jari-jarinya yang terjalin.
Dalam hadits lainnya, Beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Jika seorang hamba berzina, maka iman akan keluar darinya, maka dia seperti payung yang berada di atas kepalanya. Jika dia meninggalkan perbuatan zina itu, maka keimanan itu akan kembali kepada dirinya.” (HR. At Tirmizi  danAbu Dawud)
Diriwayatkan dari al Miqdad bin al Aswad rahimahullah, ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada para sahabatnya, “Bagaimana pandangan kalian tentang zina?” Mereka berkata, “Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkannya maka ia haram sampai hari kiamat.” Beliau bersabda, “Sekiranya seorang laki-laki berzina dengan sepuluh orang wanita itu lebih ringan daripada ia berzina dengan isteri tetangganya." (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad)
Kandungan dalil tentang zina
Dari dalil-dalil tersebut, kita dapat mengambil beberapa kesimpulan tentang larangan zina dalam Islam. Kesimpulan yang dapat kita ambil diantaranya adalah:
1.    Kerasnya pengharaman zina. Zina adalah seburuk-buruk jalan dan sejelek-jelek perbuatan. Terkumpul padanya seluruh bentuk kejelekan yakni kurangnya agama, tidak adanya wara’, rusaknya muru’ah (kehormatan) dan tipisnya rasa cemburu. Hingga engkau tidak akan menjumpai seorang pezina itu memiliki sifat wara’, menepati perjanjian, benar dalam ucapan, menjaga persahabatan, dan memiliki kecemburuan yang sempurna kepada keluarganya. Yang ada tipu daya, kedustaan, khianat, tidak memiliki rasa malu, tidak muraqabah, tidak menjauhi perkara haram, dan telah hilang kecemburuan dalam hatinya dari cabang-cabang dan perkara-perkara yang memperbaikinya.
2.    Ancaman yang keras terhadap pelaku zina. Hukuman bagi pezina dikhususkan dengan beberapa perkara:
      a.    Keras dan ngerinya hukuman bagi pezina     
      b.    Diumumkan hukumannya di depan umum, bahkan disaksikan orang banyak.
      c.    Larangan menaruh rasa kasihan kepada pezina
3.    Hukuman bagi pezina yang belum menikah adalah dicambuk seratus kali dan diasingkan selama satu tahun. Dan hukuman bagi pelaku zina yang telah menikah adalah dirajam sampai mati. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah merajam sebanyak enam orang di antaranya adalah Mu’iz, wanita al-Ghamidiyah dan lain-lain.
4.    Adapun berzina dengan wanita yang masih mahram mewajibkan hukuman yang sangat keras, yakni dibunuh.
Ibnul Qayyim berkata dalam Raudhatul Muhibbin, “Adapun jika perbuatan keji itu dilakukan dengan orang yang masih memiliki hubungan kekeluargaan dari para mahramnya, itu adalah perbuatan yang membinasakan. Dan wajib dibunuh pelakunya bagaimanapun keadaannya. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan yang lainnya.”
5.    Zina ada beberapa cabang, seperti zina mata, zina lisan, dan zina anggota badan. Disebutkan dalam hadits Abu Hurairah r.a, Rasulullah saw. bersabda, “Allah telah menetapkan atas setiap Bani Adam bagiannya dari zina yang tidak bisa tidak pasti ia mendapatinya. Zina mata adalah melihat, zina lisan adalah berbicara, hati berangan-angan serta bernafsu dan kemaluan membenarkan atau mendustakannya.”
6.    Orang yang sudah dijatuhi hukuman sanksi dalam Islam di dunianya, maka itu menjadi kafarat dan penghapus untuk dosanya.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam “Barangsiapa yang melakukan perbuatan maksiat, kemudian dia dijatuhi sanksi hukum Islam, maka (sanksi hukum) itu merupakan kafarat bagi perbuatan dosanya. Barangsiapa melakukan perbuatan maksiat, kemudian Allah menutup aib orang itu, maka perkaranya dikembalikan kepada Allah Swt. Jika Allah menghendakinya, pada hari kiamat Dia dapat menyiksanya. Jika Allah menghendakinya, Dia dapat mengampuninya.” (HR. Sunan At Tirmidzi)
Marilah kita selalu berlindung kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan memohon pertolongan dan bimbingan-Nya agar dapat terhindar dari semua perbuatan yang menjurus kepada kemaksiatan.
Read More...

Thursday, September 27, 2012

Qishash

Leave a Comment
  1. Hukum Qishash
Hukum qishahsh, yaitu hukum pembalasan yang sepadan terhadap suatu kelakuan kadar kejahatan yang betu-betul disengaja dan direncanakan. Baik qishash pada jiwa atou qishash pada anggota-anggota badan.
            Firman Aallah Ta’ala: surat al-Baqarah 179
Artinya: Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.
Ø  Qishash ada 2 macam
a.       Qishash jiwa, yaitu hukum bunuh bagi tindak pidana pembunuhan
Para ulama membagi pembunuhan menjadi tiga bagian
·         Al-Qatlu ‘Amdun Mahdun
Yaitu pembunuhan bemnar-benar disengaja dan direncanakan dengan memakai senjata atou alat yang bisa dipakai untuk membunuh, atou sejenisnya, seperti pistol, pisau dan sebagainya
Firman allah ta’ala surat Al-baqarah ayat 178
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula).
·         Al-qatlu ‘khata’un mahdhun
Yaitu pembunuhan yang tidak direncanakan, yang terjadi karna unsur kekeliruan dan ketidak sengajaan. Seperti, seseorang bermaksud menembak babi tetapi salah sasran mengenai manusia yang akhirnya mati.
·         Al-qatlu sibhu amdhi
Yaitu pembunuhan yang tidak direncanakanyang terjadi seolah-olah disengaja, maksudnya, seseorang bermaksud memukul, atou melukaidengan suatu alat yang bukan alat-alat senjata yang digunakan untuk membunuh
b.      Qishash anggota badan, yakni hukum qishash atau tindak pidana melukai, merusakkan anggota badan, atau menghilangkan manfaat anggota badan.
Ø  Syarat-syarat Qishash
a.       Pembunuh sudah baligh dan berakal (mukallaf). Tidak wajib qishash bagi anak kecil atau orang gila, sebab mereka belum dan tidak berdosa
b.      Pembunuh bukan bapak dari yang terbunuh. Tidak wajib qishash bapak yang membunuh anaknya. Tetapi wajib qishash bila anak membunuh bapaknya.
c.       Oran g yang dibunuh sama derajatnya, Islam sama Islam, merdeka dengan merdeka, perempuan dengan perempuan, dan budak dengan budak.
d.      Qishash dilakukan dalam hal yang sama, jiwa dengan jiwa, anggota dengan anggota, seperti mata dengan mata, telinga dengan telinga.
e.       Qishash itu dilakukan dengn jenis barang yang telah digunakan oleh yang membunuh atau yang melukai itu.
f.       Oran g yang terbunuh itu berhak dilindungi jiwanya, kecuali jiwa oran g kafir, pezina mukhshan, dan pembunuh tanpa hak. Hal ini selaras hadits rasulullah,‘Tidakklah boleh membunuh seseorang kecuali karena salah satu dari tiga sebab: kafir setelah beriman, berzina dan membunuh tidak dijalan yang benar/aniaya’ (HR. Turmudzi dan Nasaâ’)
Ø  Syarat-syarat wajib hukum qishash
Hukum qishash tidak boleh dilaksanakan, kecuali telah memenuhi beberapa syarat berikut ini:
1.      Si pembunuh haruslah orang mukallaf (aqil baligh), sehingga anak kecil, orang gila, dan orang yang tidur tidak terkena hukum qishash. Nabi saw bersabda
“Diangkat pena dari tiga golongan: (Pertama) dari anak kecil hingga baligh, (kedua) dari orang tidak waras pikirannya hingga sadar (sehat), dan (ketiga) dari orang yang tidur hingga jaga.” (Shahih: Shahihul ‘Jami’us Shaghir no: 3512)
2.      Orang yang terbunuh adalah orang yang terlindungi darahnya, yaitu bukan orang yang darahnya terancam dengan salah satu sebab yang disebutkan dalam hadist Nabi saw
"Tidak halal darah seorang muslim kecuali dengan satu di antara tiga dst." (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 7641).
3.      Hendaknya si terbunuh bukanlah anak si pembunuh, karena ada hadist Nabi saw:
"Seorang ayah tidak boleh dibunuh karena telah membunuh anaknya." (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2214, Tirmidzi II: 428 no: 1422 dan Ibnu Majah II: 888 no: 2661)
4.      Hendaknya si korban bukanlah orang kafir, sedangkan si pembunuh orang muslim. Nabi saw bersabda:
“Orang muslim tidak boleh dibunuh karena telah (membunuh) orang kafir.” (Hasan Shahih: Shahih Tirmidzi no: 1141, Fathul Bari XII: 260 no: 6915, Tirmidzi II: 432 no: 1433 dan Nasa’i VIII: 23)
5.      Hendaknya yang terbunuh bukan seorang hamba sahaya, sedang si pembunuh orang merdeka. Al-Hasan berkata:
“Orang merdeka tidak boleh dibunuh karena (telah membunuh) seorang budak.” (Shahih Maqthu’: Shahih Abu Daud no: 3787, ‘Aunul Ma’bud XII: 238 no: 4494)
 
nb : 
sumber dari buku di rumah
Read More...

Hudud : Qishas, Diyat, Ta'zir

Leave a Comment
Hudud berarti Hukuman. Adpun macam-macam hudud terbagi menjadi dua bagia:
a.       Had penghilangan nyawa atou anggota badan
Had yang berkenaan dengan penghilangan nyawa atou anggota badan, terdiri dari dua bagian:
1)      Qisash, yaitu pembalasan yang sepadan terhadap suatu kelakuan kadar kejahatan yang betul-betul disengaja dan direncanakan. Baik qisas pada jiwa, atou qisas pada anggota-anggota badan dan pelukaan.
2)      Diyat (denda), yaitu sebagai pengganti qishas berupa denda dengan harta, dikala gugur lantaran pelaku kejahatan diampuni, ketidak sengajaan, atou ada unsur-unsur disengaja. Dalam diat pun ada pada jiwa juga diat pada anggota-anggota badan dan pekukaan. Selain itu bagi si pelaku mewajibkan membayar kafarat, yaitu denda untuk mrnghapuskan dosa kepada Allah, disamping ia wajib membayar denda kepada keluarga korban.
b.      Had tentangpelanggaran berbuat maksiat
1)      Rajam yaitu hukuman dera bagi zina muhshan dengan cara dilempari di muka imum.
2)      Ta’zir adalah menghukum dengan vara di jilidyaitu hukuman-hukuman dera dengan cara pencambukan. Atou hukuman ta’zir juga bisa berbentuk pemukulan, atou denga tmparan dengan telapak tangan, atou di asingkan atou dipecat dari kedudukannya, atou dengan dimasukan kepenjara, yang berarti hukum ta’zir adalah hukuman pengajaran.
Iama ato wakil imam yang berhak meng hukum ta’zir. Adapun hukuman ta’jir  itu berlaku pada ketentuan hukuman had, misalnya pada orang yang meminum minuman keras, atou bisa juga hukuman ta’zir itu karana tidak ada ketentuan hukum had atou kafaratnya, namun hal itu sebagai hak Allah, maupun hak manusia, misalnya mfakhadoh, yaitu menggauli wanita selain dari kemaluannya (farji), memaki yang tidak dengan qadaf, dan memukul yang tidak semestinya, dan lain-lain.
Adapun syarat-syarat menegakan hukum had, yaiyu:
·         Pelaku pidana telah mukalaf, balig dan berakal.
·         Pelaku pidana tidak gila
·         Pelaku pidana tidak dipaksa
·         Pelaku pidana tidak terdesak keadaan. Maksudnya satu upaya untuk mengatasi suatu kesulitan demi menjaga jiwa dan sebagainya sehingga melanggar langgaran.
Read More...

Jinayat

Leave a Comment
Lafadz Jinayat adalah maknanya umum, sedangkan menurutbahasa Arab, yaitu ma’fukal janhati minal jara’im, yang bermakna suatu perkara di atas kesalahan dari pada kejahatan-kejahatan. Sebab maksud jinayat disini adalah al-fara’im adalah jama’ dari jarimah, yang akar katanya dari jarama dan ajrama, yang bermakna berbuat dosa, melakkan kesalahan dan kejahatan. Menurut Marwardi bahwa, jara’im adalah larangan syar’i yang dicegah oleh Allah dengan had atau ta’zir, yakni bila dilakukan dengan sengaja. Orang yang melakukan perbuatan dosa atau  kejahatan besar disebut mujrimun. Dalam al-quran banyak ayat yang menerangkan tentang (pelaku kejahatan dan perbuatan dosa besar).
Firman Allah Ta’ala : Q.S. Al-Zukhruf :74
  
Artinya:“Sesungguhnya orang-orang yang berdosa kekal di dalam adzab neraka         Jahanam.”
Sesungguhnya orang-orang yang berdosa berada dalam kesesatan (di dunia) dan dalam neraka.
Q.S. Al-Qalam : 35
  
Artinya:”Maka Apakah patut Kami menjadikan orng-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa” (orang kafir)
Jadi yang dimaksud Jinayat adalah perbuatan-perbuatan dosa besar atau kesalahan yang mengarah pada kejahatan (tindak pidana), yang diharamkan menurut Syara’ dan orang yang melakukannya dikenai Hudud  (hukuman-hukuman ) atau sanksi pidana menurut ketentuan syara’.
Adapun Hudud adalah jama dari Had, yang artinya mencegah. Sedangkan menurut syara’ ada dua arti, yaitu :
1.      Hukum
 seperti dalam firman allah, suarat Al-Baqarah ayat 229:
Artinya;”Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya”.
Maksudnya bahwa itu semua adalah hukum-hukum Allah, menyangkut halal dan haram, maka jangan lah engkau menghalalkan yang haram, dan janganlah mengharamkan yang halal.
2.      Hukuman
sekalipun tidak ditentuka, seperti sabda rasullah SAW.
“tidak boleh memukul lebih dari sepuluh kali cambukan kecuali dalam (melaksanakan) suatu hukuman (had) dari hukum-hukum Allah.” (H.R. bukhori muslim)
Bahwa maksud hudd dalam hadis diatas, adalah hukuman hukuman, bagi yang meninggalkan salahsatu hak Allah. Sedangkan hudud menurut istilah syara’ adalah hukumdengan aturan tertentu terhadap tindak kejahatan atou maksiat, untuk mencegah tindak serupa pada yang kedua kalinya. Atou menurut pukoha, yaitu pendidikan kearah perbaikan dan pengadilan yang bentuk dan kadarnya berbeda bergantung pada jenis dan kadar pelanggarannya.
  1. Macam-Macam Jinayat Dan Hudu
1.      Macam-Macam Jinayat
Ada lima jenis macam-macam jinayat (kejahatan) yang dikenai sanksi pidana hudud (hukuman-hukuman) menurut syara’, yaitu :
a)      Kejahatan pada badan, jiwa, dan anggota-anggota badan.
1)      Al-Qathlu, yaitu dengan cara pembunuhan.
2)      Al-Farhu, yaitu dengan cara meluakai.
b)      Kejahatan pada kelamin.
1)      Perjinahan.
2)      Sifah (pelacuran)
c)      Kejahatan atas harta
1)      Hirabah, yaitu harta yang diambil denganm cara memerangi yang dilakukan tanpa alasan (ta’wil)
2)      Baghyun, (kezaliman), yaitu harta yang diambil dengan cara memerangi, yang silakukan dengan alasan.
3)      Pencurian, yaitu harta yamh diambil denggan cara menunngu kelengahan dari suatu tempat penyimpanan,
4)      Ghasab (perampasan). Yaitu apabial menggunakan kekuatan dan kekuasaan. Dalam pemarinyahan disebut korupsi (ikhtilas mali hukumah)
d)     Kejahatan pada kehormatan
·         Qadzaf  yaitu menuduh zina.
e)      Kejahatan berupa pelanggaran pada  makanan dan minuman yang diharamkan menurut syara’
Read More...
.